Teangan di dieu

Jumat, 08 Maret 2013

Cinta Jalanan

Feature Cinta Jalanan 08/03/2013 Cinta Jalanan. Oleh: Haryo Tantomo Semua yang berasal dari jalanan akan kembali ke jalanan. Dari kawasan padat sumpek pinggiran ibukota, di antara antrian kendaraan mengular, ritme kehidupan, dan sepotong mimpi masa depan, sekumpulan anak muda pengangguran yang tengah mengejar keyakinan rock & roll sedang meluapkan keresahan frustrasi. Potlot, nama gang itu. Jalan sempit yang menjadi suaka bagi Bimo Setiawan Almachzumi serta sepupunya, Akhadi Wira Satriaji – keduanya lebih dikenal dengan Bimbim dan Kaka – bersama segerombolan gonta-ganti personel yang bermuara pada formasi emas Pay Burman, Bongky Marcel dan Indra Qadarsih. Mereka merajut mimpi hari demi hari, siang tidur, malam menulis lagu, pagi belum tidur, begadang berkejaran dengan waktu sampai hari itu tiba: Kontrak rekaman. Itulah saat di mana Slank – gerombolan rock terbesar nasional sedang gusar, gelisah tanpa kepastian ketika naluri mereka terbentur tembok realita, bahwa industri belum bisa menerima kejujuran serampangan mereka. Yang akhirnya bisa dilakukan hanyalah terus percaya, menggengam keyakinan sambil memaksa keberuntungan menghampiri.  Kejujuran. Itulah yang terus hilang dari musik. Rasa rakus telah mengikis hampir semua orang di industri ini. Boneka, lintah darat, cukong, benalu, para jenius yang terjebak telah menggusur keindahan demi laba yang dituntut semakin deras. Pergeseran nilai yang bertentangan dengan kelima pemuda dari gang sempit itu tadi. Begitu pula dengan saya. Sejak membeli kaset Slank pertama, Minoritas di kisaran 96' atau 97', ketika kelas SMP tidak begitu menarik perhatian dan terlalu banyak aturan yang harus ditaati. Musik pun menjadi pelarian dari segala keresahan pertanyaan yang terjawab tidak memuaskan. Dan saya selalu percaya Slank mengerti apa keresahan itu. Meskipun tidak yakin mereka tahu apa jawaban sejatinya, tapi perasaan 'kesamaan' itulah yang mendekatkan kita semacam gairah kimia tidak terdeteksi. Seperti yang dilakukan Slank pada masa itu, merobek tatanan – itulah yang diperlukan. Luapan. Kemunculan Slank mengagetkan musik nasional. Lima musisi anti pendidikan, kumal, pinggiran yang membuat orang tua mana pun akan menjauhkan anak perempuannya. Slank tidak bisa dipercaya, tapi mereka tidak peduli. Tidak saja tingkah laku bebas berselera sembrono, tapi juga terobosan musik – terutama lirik yang apa adanya. Permen manis Java Jive atau rocker sok preman macam Ikang Fawzi secepatnya dibakar api keresahan yang lebih relevan dan nyata. Slank menggugat norma dengan kenyataan yang terjadi di depan mata mereka. Politik, dogma, kehidupan malam, lingkungan, realita kota, suara kaum kecil, kesepian hingga pergolakan asmara, semua disalak bagai anjing jalanan. Asmara. Berapa banyak lagu cinta yang mampu menggugah hati dalam kurun sepuluh tahun terakhir? Saya rindu merinding mendengar lagu cinta yang berasal dari hati. Dan yang terpenting adalah kita dapat merasakannya seperti apa yang sebenarnya tersaji, kejujuran, bukan imbuhan. Kedekatan lirik menjadi persona utama yang begitu menentukan. Patah hati bagi Slank bukanlah mata sembab, tapi bagaimana kita mendekapnya dan mencoba selamat sebisa mungkin. Jatuh cinta terasa begitu nyata dan sederhana. Tidak butuh retorika setinggi langit, atau rayuan maut tong kosong, tapi menjadi telanjang. Bimbim, drumer pendiri sekaligus penulis lagu utama, memotret kehidupannya sendiri ke dalam lirik yang berkisah. “Josephira” dari album kemerosotan moral Slank di tahun 96', Lagi Sedih mengisahkan Joane Josephira, slanker yang kemudian dinikahinya. 'Josephira honey, kamu paling cantik/yang melindungi, yang melayani/hari jadi cerah, mimpi jadi indah/kuberikan cintaku untuk, Josephira'. Bimbim yang menyanyikan sendiri lagu itu juga menyebut 'Rani yang manis' dan 'Seksi Melanie' di dalamnya – mungkin lingkaran slankers lainnya, tapi inilah rayuan Bimbim, 'Waktu lalu datang, dan engkau pun menghilang/hidupku lebih baik dengan, Josephira'. Sederhana saja. “Aku Gila” dari debut Suit Suit He He (Gadis Sexy), 'Aku memang orang yang tak punya dan aku juga cuma penganggur/yang kumiliki hanyalah cinta, dan kuserahkan tulus untukmu', merupakan kisah nyata lainnya. Nasib musisi belum sukses yang harus menerima kenyataan cinta materialistis, Bimbim berandai lalu mencibir dendam, 'Seandainya aku orang kaya, tentu kau kan menjilat pantatku/jikaku seorang sarjana, pasti papa mamamu bersujud di kakiku'. Saya bahagia mendengar kata 'pantat', tidak banyak band yang berani menuliskan itu.  Satu balada paling terkenal, “Mawar Merah” (Kampungan, 1991) pun cinta jalanan apa adanya. 'Memang ku tak mampu belikan dia perhiasan/tak pernah, atau memberi kemewahan/tapi kuyakin dia bahagia, tanpa itu semua'. “Kirim Aku Bunga” (Piss, 1993) termasuk lagu cinta terbaik yang pernah dihasilkan Slank. Liriknya mudah, tentang penantian realistis hubungan jarak jauh, 'Lupakanlah diriku sementara/jangan terlalu pikirkan langkahku/lakukan yang kau suka biar kau bahagia/dan percayalah, di mimpiku ada mimpimu'. Atau apa yang langsung terbersit di pikiran anda ketika mendengar judul “Cuma Untukmu (Anuku)” (Matahati Reformasi, 1998) ? Itulah kesan jujur sembarangan Slank. Nakal.  Setelah berhasil melewati perpecahan di tahun 97' dengan bergabungnya Abdee Negara, Ridho Hafiedz dan Ivanka, Slank makin seenaknya. Penggunaan 'gue' 'elo' menabrak ketidakpentingan EYD. Potret anak muda apa adanya melalui musik. Membanjiri hari dengan candu yang mengubah kepribadian. Di masa itu ada 3 pemadat akut dalam tubuh Slank. Bimbim, Kaka dan Ivanka tampak semakin sulit diselamatkan. Cinta yang kosong disamarkan bersama heroin murah putauw. “Balikin” (Tujuh, 1997) menjadi prasasti cinta yang mengandung makna ganda antara perempuan dan narkoba. Kecerdasan kata yang berbicara, 'Mencintai kamu bikin dompet gue kebobolan/hidup nggak keurus, sibuk ngeladenin kamu/Mencintai kamu jadi nggak doyan sama makan/badan gue kurus, capek ngelayani kamu'. Teler adalah cinta sejati saat itu, wanita adalah narkotika, gelap dan terkungkung mengisapi 'Mira', 'Dissa', 'Corine' dan 'Petty'.  Mariyuana, hashis, kokain dan putauw. “Poppies Lane Memory”.    Patah. Bagi Bimbim itu bisa menjadi sangat hancur dan menggigil menunggu diselamatkan. Ilusi lalu memperburuk itu semua, menggamblangkan luka. “Anyer, 10 Maret” (Piss, 1993) menjadi ratapannya bersama Kaka dan bergelas arak dari pinggir pantai. 'Tanpa dirimu dekat di mataku, aku bagai ikan tanpa air/tanpa dirimu ada di sisiku, aku bagai hiu tanpa taring/tanpa dirimu dekap di pelukku, aku bagai pantai tanpa lautan'. “Terbunuh Sepi” (Generasi Biru, 1994) menjadi reaksi dari perasaan terisolasi, menyendiri dan kesepian. Tampak menyedihkan dan bergetar, “Lorong Hitam” seperti mencari pegangan tali dalam kegelapan, berusaha bertahan, keluar hidup-hidup dari sana. Emosional. Lagu cinta Slank menjadi cermin keindahan dan kegagalan. Rasa apatis, kemuakkan, penyelamatan yang dirasakan secara langsung. Bukan basa-basi, tidak pula mengarang, namun jujur dan telanjang. Ratusan ribu slankers mendekapnya, menjadikannya tali penyelamat untuk perlahan merangkak ke permukaan. Slank sudah mampu dipercaya dan mereka peduli sekarang.  Tapi keadaan lalu berubah, saya merasa 'kesamaan' itu sedikit demi sedikit memudar. Musik memang memiliki kadar waktunya sendiri, dan bagi saya masa Slank sudah lewat. Kini kejujuran mereka mengatakan bagaimana cara bertahan hidup dari industri ini. Normal terkikis dunia yang berputar semakin tua. Lagipula rock & roll memang sudah mati, apa lagi yang diharapkan? Tapi saya percaya cinta adalah abadi, tidak ada yang mampu mengubahnya. Bahkan serentetan album jelek akhir-akhir ini sekalipun. Sepotong bait Iwan Fals dapat menjelaskan itu semua, berita cinta jalanan, “Serenade Kembang Pete”. 'Cinta kita, cinta jalanan yang tegar mabuk di persimpangan/cinta kita, cinta jalanan yang sombong menghadang keadaan/semoga hidup kita bahagia, semoga hidup kita sejahtera'. Ya, semoga hidup kita bahagia, karena seperti musik,